Senin, 06 Mei 2013

Konvensi Demokrat antara Cemo’ohan dan Harapan

KATA konvensi merujuk pada rapat (suatu rapat besar); norma (suatu kumpulan norma yang diterima umum); dan traktat, perjanjian, dan lain-lain.

Konvensi bila merujuk kepada partai politik adalah penjaringan di internal partai untuk mencari tokoh yang berhak mewakili parpol dalam sebuah kompetisi politik. Seperti contoh, partai A mencari sosok yang berhak mewakili partai tersebut dalam berkompetisi merebutkan kursi kepresidenan.

Konvensi adalah tradisi logis-rasional yang biasa diterapkan oleh parpol modern. Itu dikarenakan, yang terbaiklah yang berhak mewakili parpol dalam sebuah kompetisi politik di tingkat eksternal. Hal tersebut merupakan sistem yang demokratis dalam internal partai untuk memperebutkan dukungan partai dalam kompetisi ditingkat nasional. Konvensi juga sebagai sarana demokratis terbuka untuk kader maupun non parpol merupakan ajang pembuktian bahwa sebuah parpol telah melakukan mekanisme modern untuk mencetak kader pemimpin.

Sistem konvensi di internal partai dapat kita lihat di negara Amerika Serikat yang sudah berlangsung 200 tahun. Tradisi konvensi itu muncul setelah setelah negara itu menerapkan sistem pemilu mayoritarian (di sini secara salah kaprah disebut sistem distrik) dalam memilih Senat, DPR, dan presiden.

Penggunaan sistem mayoritarian itu menciptakan sistem dua partai, karena dari sekian banyak partai hanya dua menonjol: Partai Demokrat dan Partai Republik. Karena penguasaan pendukung, suara, maupun kursi, maka dua partai itu seakan memiliki hak khusus mengajukan calon presiden. Padahal secara hukum, partai lain juga bisa mengajukan calon, bahkan seseorang bisa menjadi calon independen.

Untuk menentukan calon presiden itulah Partai Demokrat dan Partai Republik, menggelar konvensi. Jadi, konvensi adalah forum partai untuk memilih calon presiden yang akan diajukan dalam pemilu presiden. Lalu siapa yang memilih calon presiden di forum ituadalah mereka adalah para utusan partai yang berasal dari setiap negara bagian.

Dalam konvensi Partai Demokrat terdapat 4.233 utusan, sedang konvensi Partai Republik terdapat 2.380. Para utusan itu dipilih melalui pemilihan pendahuluan yang dilakukan oleh masing-masing partai. Para utusan itu dipilih anggota partai masing-masing, di setiap daerah pemilihan, yang tersebar di negara bagian.

Seseorang akan ditetapkan menjadi calon presiden Partai Demokat, apabila dia mendapat dukungan minimal 2.166 utusan dalam Konvensi Partai Demokrat. Sedangkan di Partai Republik calon presiden harus mendapatkan dukungan minimal 1.191 utusan dalam Konvensi Partai Republik.

Contoh konvensi di Indonesia

Konvensi di internal partai juga pernah dilakukan oleh partai di Indonesia yakni partai Golkar. Pada era Akbar tanjung, Golkar kesulitan dalam menetapkan Capres dikarenakan Akbar Tanjung waktu itu sedang tersungkur karena terlibat dalam kasus korupsi. Saat itu Golkar melakukan konvensi dalam menjaring calon yang akan mewakili Golkar dalam kompetisi pilpres.

Konvensi yang diperkenalkan Golkar untuk menjaring kandidat capres memang fenomenal dan dianggap sangat demokratis. Hal ini karena dengan menggunakan metode konvensi, para kandidat akan bersaing secara terbuka dengan memaparkan visi dan misinya untuk merebut perhatian para kader dan pengurus Golkar di seluruh Indonesia. Menurut Akbar Tandjung, konvensi juga berarti sebuah pengambilan keputusan yang melibatkan hingga jajaran partai yang berada di bawah.

Kovensi akan menghasilkan capres yang dikenal luas hingga ke daerah-daerah, karena setiap peserta konvensi musti mendapat dukungan dari kader partai di daerah. Sehingga dengan demikian hasil konvensi sesungguhnya mencerminkan aspirasi dari DPD-DPD Golkar di seluruh Indonesia, hal inilah yang kemudian memunculkan gambaran bahwa konvensi adalah sebuah proses yang sangat demokratis.

Selain itu metode konvensi ini juga menunjukkan kemandirian Golkar dan mencerminkan sebuah organisasi yang modern, dimana semua kader diberi kesempatan untuk mengikuti konvensi dan semuanya punya peluang yang sama untuk terpilih.

Ini bermakna Golkar tidak hanya bergantung pada satu orang saja dimana satu orang ini yang biasanya merupakan orang paling berpengaruh di partai akan menjadi satu-satunya kandidat yang akan diusung partai untuk menjadi capres. Golkar, dengan mekanisme konvensi berarti menolak budaya mengkultusindividukan seseorang seperti itu.

Hal tersebut merupakan sebuah terobosan yang cukup revolusioner karena sangat banyak parpol di Indonesia yang masih mengkultusindividukan pemimpinnya, seperti PDI Perjuangan dengan Megawati-nya, Partai Demokrat dengan SBY-nya, dan lain-lain. Konvensi juga bisa dianggap sebagai upaya Akbar Tandjung untuk menunjukkan bahwa Golkar sudah berubah dan sudah punya paradigma baru, terutama dalam hal rekruitmen capres.

Namun di sisi lain, konvensi memang mempunyai beberapa kelemahan. Selain menelan biaya yang cukup banyak seperti diutarakan ketua umum Golkar Jusuf Kalla pada tahun 2009 silam, konvensi juga rentan menjadi ajang adu uang dan adu modal. Seperti kita ketahui metode konvensi menempatkan kader-kader Golkar di daerah sebagai anak emas, dimana menang kalahnya seorang kandidat adalah berdasarkan pilihan mereka.

Untuk itu, calon yang ingin menang tentu harus merebut banyak suara di daerah, dan untuk mencapai hal tersebut tentu tidak bisa terjadi dengan cuma-cuma melainkan harus ada semacam pemberian bagi para pengurus di daerah tersebut. Hal ini akan menyebabkan calon dengan modal yang kuatlah yang akan menang, dan tentu saja ini bertentangan dengan tujuan konvensi sendiri yang ingin mendapatkan capres yang berkompeten serta diakui legitimasinya di tingkat kepengurusan baik pusat maupun daerah.

Alasan lainnya adalah dengan adanya konvensi bisa memicu perpecahan di internal partai. Kekalahan capres dari Golkar pada pilpres 2004 dan 2009 bisa disebut karena ketidaksolidan di internal partai dalam memenangkan capres yag Golkar usung. Ditengarai hal itu bisa saja terjadi karena ada sebagian kubu pendukung kandidat yang kalah dalam konvensi merasa tidak puas dan kemudian membelot mendukung capres dari partai lain. Konvensi juga memakan waktu dan proses yang panjang dan melelahkan, serta bisa saja memunculkan pemenangnya bukanlah merupakan kader Golkar yang aktif seperti yang terjadi ketika Wiranto memenangkan konvensi Golkar 2004.

Jusuf Kalla sendiri menjelang pilpres 2009 menolak konvensi sebagai metode penjaringan capres dari Golkar untuk pilpres 2009. Menurut Jusuf Kalla, konvensi pada 2004 adalah berdasarkan alasan sejarah, dimana ketika itu ketua umum Golkar Akbar Tandjung sedang tersangkut masalah hukum, sehingga pengurus Golkar tidak mau mengambil risiko mencalonkan seorang ketua umum yang sedang tersangkut masalah hukum. Oleh karena itu metode konvensi pun ditempuh untuk menghindari hal tersebut.

Kalla kemudian mengajukan usul untuk mengembalikan penetapan capres dari Golkar melalui proses Rapimnas, hal mana menurut Kalla adalah sesuai dengan AD/ART Partai Golkar yang menyebutkan bahwa keputusan penting partai diambil dalam Rapimnas. Menurut Kalla penentuan capres dari Golkar termasuk keputusan penting, karena itu wewenang tersebut harus diserahkan pada Rapimnas. Metode Rapimnas ini akhirnya memang dipakai menjelang pilpres 2009 dimana ketika itu aspirasi dari daerah dijaring dan memunculkan sejumlah nama termasuk Kalla. Kemudian dilakukan survei di antara nama-nama tersebut dan Kalla menang sehingga memunculkan Kalla sendiri sebagai capres dari Golkar.

Tanggapan Masyarakat dan Idealitas Konvensi di Partai Demokrat

Gagasan Ketua Umum Partai Demokrat (PD) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menggelar konvensi, patut diapresiasi. Jika gagasan itu terwujud, Partai Demokrat akan menjadi partai terbuka dalam pengajuan calon presiden. Sebab, katanya, konvensi tidak hanya diikuti oleh kader partai, tetapi juga orang luar.

Tetapi, bagaimana memilih satu calon presiden dari sekian banyak orang yang berminat, merupakan masalah mendasar. Di sinilah gagasan SBY itu tidak diketahui, atau belum jelas, sehingga mengundang komentar sinis para pesaingnya. Bisa dimengerti karena konteks politik Indonesia tak gampang mengadopsi konvensi.

Gagasan mengenai konvensi di partai Demokrat mendapat banyak tanggapan dari masyarakat baik yang apresiatif hingga sinis. Sikap sinis terhadap gagasan ketua umum PD yang akan menjaring capres melalui konvensi banyak dikarenakan oleh tidak jelasnya mekanisme konvensi nantinya. Masyarakat banyak yang menganggap konvensi di PD hanya untuk mengangkat popularitas partai.

Kesinisan dari masyarakat terutama karena belum ada soal sistem pemilihan dalam konvensi partai tersebut. Masyarakat banyak mengaca pada konvensi Golkar pada pilpres 2004 lalu yang hanya melibatkan pengurus partai bukan masyarakat, dan dalam konvensi tersebut sarat dengan praktek money politics dan menghabiskan dana yang cukup besar.

Niat PD untuk melakukan konvensi merupakan progresifitas partai modern dalam menjaring aspirasi rakyat dalam menentukan calon pemimpin masa depan. Seperti yang diutarakan SBY dalam akun twitternya, "Gagasan saya adalah melibatkan rakyat dalam seleksi Capres 2014." Maka gagasan ini harus mendapat apresiasi bila nanti system yang digunakan dalam konvensi benar-benar mewakili aspirasi rakyat dalam mencari pemimpin yang sesuai dengan keinginan rakyat.

Gagasan bagus dari partai Demokrat tersebut harus dijalankan dengan system yang baik pula. Konvensi yang pernah dilakukan oleh Golkar dan juga partai-partai di Amerika harus menjadi pertimbangan dalam membuat mekanisme konvensi nanti. Menjaring aspirasi rakyat harus menjadi ruh utama dalam sistem mekanisme nanti.
Konvensi seperti yang sudah dilakukan oleh Golkar yang menghabiskan dana besar dan efektif harus dihindari dalam konvensi PD  nanti. Selain menelan biaya yang cukup banyak seperti diutarakan ketua umum Golkar Jusuf Kalla pada tahun 2009 silam, konvensi juga rentan menjadi ajang adu uang dan adu modal.

Seperti kita ketahui metode konvensi menempatkan kader-kader Golkar di daerah sebagai anak emas, dimana menang kalahnya seorang kandidat adalah berdasarkan pilihan mereka. Untuk itu, calon yang ingin menang tentu harus merebut banyak suara di daerah, dan untuk mencapai hal tersebut tentu tidak bisa terjadi dengan cuma-cuma melainkan harus ada semacam pemberian bagi para pengurus di daerah tersebut. Hal ini akan menyebabkan calon dengan modal yang kuatlah yang akan menang, dan tentu saja ini bertentangan dengan tujuan konvensi sendiri yang ingin mendapatkan capres yang berkompeten serta diakui legitimasinya di tingkat kepengurusan baik pusat maupun daerah.

Alasan lainnya adalah dengan adanya konvensi bisa memicu perpecahan di internal partai. Kekalahan capres dari Golkar pada pilpres 2004 dan 2009 bisa disebut karena ketidaksolidan di internal partai dalam memenangkan capres yang Golkar usung.

Konvensi yang seperti Golkar tersebut tidak menjaring aspirasi masyarakat tetapi hanya aspiasi kader partai hingga DPD. Semangat konvensi yang mencari calon pemimpin yang sesuai dengan keinginan rakyat tidak seperti yang diinginkan SBY bila konvensi nanti seperti sistem konvensi di Golkar tersebut.

Kemudian, acuan mekanisme konvensi ada lagi di partai Demokrat dan Republik Amerika Serikat yakni yang bersandar pada primary (pemilihan awal). Primary adalah pemilihan tertutup, Primary umumnya hanya anggota partai yang bersangkutan. Kalau primary Republik maka anggota partai Demokrat tidak boleh ikut. Hasilnya pasti tidak mencerminkan aspirasi pemilih nasional. Primary juga sangat mahal. Primary itu seperti pemilihan sebenarnya, melibatkan puluhan juta pemilih. Butuh persiapan dan lain sebagainya, mahal dan hasilnya kurang mencerminkan aspirasi pemilih nasional.

Dari dua model konvensi yang disebutkan diatas banyak kalangan menganggap tidak akan menghasilkan hal yang signifikan. Kelemahan-kelemahan banyak terdapat di dua sistem konvensi yakni konvensi Golkar yang menghabiskan dana besar, sarat money politics dan hasilnya tidak signifikan. Sedangkan konvensi yang dilakukan di AS yakni di partai Republik dan Demokrat yang bersandar pada primary yang hanya melibatkan partai yang bersangkutan dan melibatkan puluhan juta pemilih pasti menghabiskan banyak modal.

Maka dengan berkaca dari konvensi-konvensi di atas, Partai Demokrat harus menggodok kembali mekanisme yang nanti akan dibuat sistem dalam konvensi. Seperti diutarakan oleh Jeffrie Geofanie (Board of Advisor Center for Strategic and International Studies (CSIS), bahwa konvensi yang dilakukan oleh Golkar dan partai-partai di AS tidak cocok bila diterapkan di PD.

Menurutnya, konvensi PD nanti harus bersistem the winner takes all. Yaitu semua peserta konvensi melakukan sosialisasi terbuka lewat media massa yang punya jangkuan nasional.  Setelah itu, menjelang konvensi nasional nanti, dibuat survei pemilih secara ilmiah di masing-masing provinsi. Siapa yang mendapat urutan pertama maka dia mengambil seluruh kuota suara di provinsi itu. Hasilnya kemudian dibawa oleh delegasi provinsi ke konvensi nasional. Delegasi ini hanya membawa hasil survei. Misalnya, kalau di Aceh yang unggul nomor 1 adalah Dahlan Iskan, delegasi Aceh mencalonkan Menteri BUMN itu. Sementara kalau di Jawa Timur yang nomor 1 Mahfud MD, delegasi Jatim mengusung mantan Ketua MK tersebut.

Untuk menjamin agar tetap proporsional, Jeffrie menambahkan, kuota suara provinsi ditentukan oleh jumlah pemilih provinsi bersangkutan dibanding pemilih nasional. Aceh misalnya 2%, Jatim 16%. Kalau total suara di konvensi nanti 100, maka Jatim mengirim 16 orang dengan suara ke Mahfud semua. Aceh 2 orang dengan suara ke Dahlan semua. Demikian seterusnya. Nanti dihitung siapa yang mendapat suara paling banyak dari semua provinsi itu.

Cara seperti itu merupakan konvensi baru. Bukan seperti konvensi Golkar pada tahun 2004 lalu yang rawan terhadap politik uang, dan bukan pula konvensi seperti di Amerika yang bersandar pada primary (pemilihan awal). [***}

Oleh Farhan Effendy, S. Fil. MAP
Sekretaris Pusat Pengembangan Strategi dan Kebijakan (PPSK) DPP Partai Demokrat

Sumber : rmol

Tidak ada komentar:

Posting Komentar