KATA konvensi merujuk pada rapat (suatu rapat besar); norma (suatu
kumpulan norma yang diterima umum); dan traktat, perjanjian, dan
lain-lain.
Konvensi bila merujuk kepada partai politik adalah
penjaringan di internal partai untuk mencari tokoh yang berhak mewakili
parpol dalam sebuah kompetisi politik. Seperti contoh, partai A mencari
sosok yang berhak mewakili partai tersebut dalam berkompetisi merebutkan
kursi kepresidenan.
Konvensi adalah tradisi logis-rasional yang
biasa diterapkan oleh parpol modern. Itu dikarenakan, yang terbaiklah
yang berhak mewakili parpol dalam sebuah kompetisi politik di tingkat
eksternal. Hal tersebut merupakan sistem yang demokratis dalam internal
partai untuk memperebutkan dukungan partai dalam kompetisi ditingkat
nasional. Konvensi juga sebagai sarana demokratis terbuka untuk kader
maupun non parpol merupakan ajang pembuktian bahwa sebuah parpol telah
melakukan mekanisme modern untuk mencetak kader pemimpin.
Sistem
konvensi di internal partai dapat kita lihat di negara Amerika Serikat
yang sudah berlangsung 200 tahun. Tradisi konvensi itu muncul setelah
setelah negara itu menerapkan sistem pemilu mayoritarian (di sini secara
salah kaprah disebut sistem distrik) dalam memilih Senat, DPR, dan
presiden.
Penggunaan sistem mayoritarian itu menciptakan sistem
dua partai, karena dari sekian banyak partai hanya dua menonjol: Partai
Demokrat dan Partai Republik. Karena penguasaan pendukung, suara, maupun
kursi, maka dua partai itu seakan memiliki hak khusus mengajukan calon
presiden. Padahal secara hukum, partai lain juga bisa mengajukan calon,
bahkan seseorang bisa menjadi calon independen.
Untuk menentukan
calon presiden itulah Partai Demokrat dan Partai Republik, menggelar
konvensi. Jadi, konvensi adalah forum partai untuk memilih calon
presiden yang akan diajukan dalam pemilu presiden. Lalu siapa yang
memilih calon presiden di forum ituadalah mereka adalah para utusan
partai yang berasal dari setiap negara bagian.
Dalam konvensi
Partai Demokrat terdapat 4.233 utusan, sedang konvensi Partai Republik
terdapat 2.380. Para utusan itu dipilih melalui pemilihan pendahuluan
yang dilakukan oleh masing-masing partai. Para utusan itu dipilih
anggota partai masing-masing, di setiap daerah pemilihan, yang tersebar
di negara bagian.
Seseorang akan ditetapkan menjadi calon
presiden Partai Demokat, apabila dia mendapat dukungan minimal 2.166
utusan dalam Konvensi Partai Demokrat. Sedangkan di Partai Republik
calon presiden harus mendapatkan dukungan minimal 1.191 utusan dalam
Konvensi Partai Republik.
Contoh konvensi di Indonesia
Konvensi
di internal partai juga pernah dilakukan oleh partai di Indonesia yakni
partai Golkar. Pada era Akbar tanjung, Golkar kesulitan dalam
menetapkan Capres dikarenakan Akbar Tanjung waktu itu sedang tersungkur
karena terlibat dalam kasus korupsi. Saat itu Golkar melakukan konvensi
dalam menjaring calon yang akan mewakili Golkar dalam kompetisi pilpres.
Konvensi
yang diperkenalkan Golkar untuk menjaring kandidat capres memang
fenomenal dan dianggap sangat demokratis. Hal ini karena dengan
menggunakan metode konvensi, para kandidat akan bersaing secara terbuka
dengan memaparkan visi dan misinya untuk merebut perhatian para kader
dan pengurus Golkar di seluruh Indonesia. Menurut Akbar Tandjung,
konvensi juga berarti sebuah pengambilan keputusan yang melibatkan
hingga jajaran partai yang berada di bawah.
Kovensi akan
menghasilkan capres yang dikenal luas hingga ke daerah-daerah, karena
setiap peserta konvensi musti mendapat dukungan dari kader partai di
daerah. Sehingga dengan demikian hasil konvensi sesungguhnya
mencerminkan aspirasi dari DPD-DPD Golkar di seluruh Indonesia, hal
inilah yang kemudian memunculkan gambaran bahwa konvensi adalah sebuah
proses yang sangat demokratis.
Selain itu metode konvensi ini
juga menunjukkan kemandirian Golkar dan mencerminkan sebuah organisasi
yang modern, dimana semua kader diberi kesempatan untuk mengikuti
konvensi dan semuanya punya peluang yang sama untuk terpilih.
Ini
bermakna Golkar tidak hanya bergantung pada satu orang saja dimana satu
orang ini yang biasanya merupakan orang paling berpengaruh di partai
akan menjadi satu-satunya kandidat yang akan diusung partai untuk
menjadi capres. Golkar, dengan mekanisme konvensi berarti menolak budaya
mengkultusindividukan seseorang seperti itu.
Hal tersebut
merupakan sebuah terobosan yang cukup revolusioner karena sangat banyak
parpol di Indonesia yang masih mengkultusindividukan pemimpinnya,
seperti PDI Perjuangan dengan Megawati-nya, Partai Demokrat dengan
SBY-nya, dan lain-lain. Konvensi juga bisa dianggap sebagai upaya Akbar
Tandjung untuk menunjukkan bahwa Golkar sudah berubah dan sudah punya
paradigma baru, terutama dalam hal rekruitmen capres.
Namun di
sisi lain, konvensi memang mempunyai beberapa kelemahan. Selain menelan
biaya yang cukup banyak seperti diutarakan ketua umum Golkar Jusuf Kalla
pada tahun 2009 silam, konvensi juga rentan menjadi ajang adu uang dan
adu modal. Seperti kita ketahui metode konvensi menempatkan kader-kader
Golkar di daerah sebagai anak emas, dimana menang kalahnya seorang
kandidat adalah berdasarkan pilihan mereka.
Untuk itu, calon
yang ingin menang tentu harus merebut banyak suara di daerah, dan untuk
mencapai hal tersebut tentu tidak bisa terjadi dengan cuma-cuma
melainkan harus ada semacam pemberian bagi para pengurus di daerah
tersebut. Hal ini akan menyebabkan calon dengan modal yang kuatlah yang
akan menang, dan tentu saja ini bertentangan dengan tujuan konvensi
sendiri yang ingin mendapatkan capres yang berkompeten serta diakui
legitimasinya di tingkat kepengurusan baik pusat maupun daerah.
Alasan
lainnya adalah dengan adanya konvensi bisa memicu perpecahan di
internal partai. Kekalahan capres dari Golkar pada pilpres 2004 dan 2009
bisa disebut karena ketidaksolidan di internal partai dalam memenangkan
capres yag Golkar usung. Ditengarai hal itu bisa saja terjadi karena
ada sebagian kubu pendukung kandidat yang kalah dalam konvensi merasa
tidak puas dan kemudian membelot mendukung capres dari partai lain.
Konvensi juga memakan waktu dan proses yang panjang dan melelahkan,
serta bisa saja memunculkan pemenangnya bukanlah merupakan kader Golkar
yang aktif seperti yang terjadi ketika Wiranto memenangkan konvensi
Golkar 2004.
Jusuf Kalla sendiri menjelang pilpres 2009 menolak
konvensi sebagai metode penjaringan capres dari Golkar untuk pilpres
2009. Menurut Jusuf Kalla, konvensi pada 2004 adalah berdasarkan alasan
sejarah, dimana ketika itu ketua umum Golkar Akbar Tandjung sedang
tersangkut masalah hukum, sehingga pengurus Golkar tidak mau mengambil
risiko mencalonkan seorang ketua umum yang sedang tersangkut masalah
hukum. Oleh karena itu metode konvensi pun ditempuh untuk menghindari
hal tersebut.
Kalla kemudian mengajukan usul untuk mengembalikan
penetapan capres dari Golkar melalui proses Rapimnas, hal mana menurut
Kalla adalah sesuai dengan AD/ART Partai Golkar yang menyebutkan bahwa
keputusan penting partai diambil dalam Rapimnas. Menurut Kalla penentuan
capres dari Golkar termasuk keputusan penting, karena itu wewenang
tersebut harus diserahkan pada Rapimnas. Metode Rapimnas ini akhirnya
memang dipakai menjelang pilpres 2009 dimana ketika itu aspirasi dari
daerah dijaring dan memunculkan sejumlah nama termasuk Kalla. Kemudian
dilakukan survei di antara nama-nama tersebut dan Kalla menang sehingga
memunculkan Kalla sendiri sebagai capres dari Golkar.
Tanggapan Masyarakat dan Idealitas Konvensi di Partai Demokrat
Gagasan
Ketua Umum Partai Demokrat (PD) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk
menggelar konvensi, patut diapresiasi. Jika gagasan itu terwujud, Partai
Demokrat akan menjadi partai terbuka dalam pengajuan calon presiden.
Sebab, katanya, konvensi tidak hanya diikuti oleh kader partai, tetapi
juga orang luar.
Tetapi, bagaimana memilih satu calon presiden
dari sekian banyak orang yang berminat, merupakan masalah mendasar. Di
sinilah gagasan SBY itu tidak diketahui, atau belum jelas, sehingga
mengundang komentar sinis para pesaingnya. Bisa dimengerti karena
konteks politik Indonesia tak gampang mengadopsi konvensi.
Gagasan
mengenai konvensi di partai Demokrat mendapat banyak tanggapan dari
masyarakat baik yang apresiatif hingga sinis. Sikap sinis terhadap
gagasan ketua umum PD yang akan menjaring capres melalui konvensi banyak
dikarenakan oleh tidak jelasnya mekanisme konvensi nantinya. Masyarakat
banyak yang menganggap konvensi di PD hanya untuk mengangkat
popularitas partai.
Kesinisan dari masyarakat terutama karena
belum ada soal sistem pemilihan dalam konvensi partai tersebut.
Masyarakat banyak mengaca pada konvensi Golkar pada pilpres 2004 lalu
yang hanya melibatkan pengurus partai bukan masyarakat, dan dalam
konvensi tersebut sarat dengan praktek money politics dan menghabiskan
dana yang cukup besar.
Niat PD untuk melakukan konvensi
merupakan progresifitas partai modern dalam menjaring aspirasi rakyat
dalam menentukan calon pemimpin masa depan. Seperti yang diutarakan SBY
dalam akun twitternya, "Gagasan saya adalah melibatkan rakyat dalam
seleksi Capres 2014." Maka gagasan ini harus mendapat apresiasi bila
nanti system yang digunakan dalam konvensi benar-benar mewakili aspirasi
rakyat dalam mencari pemimpin yang sesuai dengan keinginan rakyat.
Gagasan
bagus dari partai Demokrat tersebut harus dijalankan dengan system yang
baik pula. Konvensi yang pernah dilakukan oleh Golkar dan juga
partai-partai di Amerika harus menjadi pertimbangan dalam membuat
mekanisme konvensi nanti. Menjaring aspirasi rakyat harus menjadi ruh
utama dalam sistem mekanisme nanti.
Konvensi seperti yang sudah
dilakukan oleh Golkar yang menghabiskan dana besar dan efektif harus
dihindari dalam konvensi PD nanti. Selain menelan biaya yang cukup
banyak seperti diutarakan ketua umum Golkar Jusuf Kalla pada tahun 2009
silam, konvensi juga rentan menjadi ajang adu uang dan adu modal.
Seperti
kita ketahui metode konvensi menempatkan kader-kader Golkar di daerah
sebagai anak emas, dimana menang kalahnya seorang kandidat adalah
berdasarkan pilihan mereka. Untuk itu, calon yang ingin menang tentu
harus merebut banyak suara di daerah, dan untuk mencapai hal tersebut
tentu tidak bisa terjadi dengan cuma-cuma melainkan harus ada semacam
pemberian bagi para pengurus di daerah tersebut. Hal ini akan
menyebabkan calon dengan modal yang kuatlah yang akan menang, dan tentu
saja ini bertentangan dengan tujuan konvensi sendiri yang ingin
mendapatkan capres yang berkompeten serta diakui legitimasinya di
tingkat kepengurusan baik pusat maupun daerah.
Alasan lainnya
adalah dengan adanya konvensi bisa memicu perpecahan di internal partai.
Kekalahan capres dari Golkar pada pilpres 2004 dan 2009 bisa disebut
karena ketidaksolidan di internal partai dalam memenangkan capres yang
Golkar usung.
Konvensi yang seperti Golkar tersebut tidak
menjaring aspirasi masyarakat tetapi hanya aspiasi kader partai hingga
DPD. Semangat konvensi yang mencari calon pemimpin yang sesuai dengan
keinginan rakyat tidak seperti yang diinginkan SBY bila konvensi nanti
seperti sistem konvensi di Golkar tersebut.
Kemudian, acuan
mekanisme konvensi ada lagi di partai Demokrat dan Republik Amerika
Serikat yakni yang bersandar pada primary (pemilihan awal). Primary
adalah pemilihan tertutup, Primary umumnya hanya anggota partai yang
bersangkutan. Kalau primary Republik maka anggota partai Demokrat tidak
boleh ikut. Hasilnya pasti tidak mencerminkan aspirasi pemilih nasional.
Primary juga sangat mahal. Primary itu seperti pemilihan sebenarnya,
melibatkan puluhan juta pemilih. Butuh persiapan dan lain sebagainya,
mahal dan hasilnya kurang mencerminkan aspirasi pemilih nasional.
Dari
dua model konvensi yang disebutkan diatas banyak kalangan menganggap
tidak akan menghasilkan hal yang signifikan. Kelemahan-kelemahan banyak
terdapat di dua sistem konvensi yakni konvensi Golkar yang menghabiskan
dana besar, sarat money politics dan hasilnya tidak signifikan.
Sedangkan konvensi yang dilakukan di AS yakni di partai Republik dan
Demokrat yang bersandar pada primary yang hanya melibatkan partai yang
bersangkutan dan melibatkan puluhan juta pemilih pasti menghabiskan
banyak modal.
Maka dengan berkaca dari konvensi-konvensi di atas,
Partai Demokrat harus menggodok kembali mekanisme yang nanti akan
dibuat sistem dalam konvensi. Seperti diutarakan oleh Jeffrie Geofanie
(Board of Advisor Center for Strategic and International Studies (CSIS),
bahwa konvensi yang dilakukan oleh Golkar dan partai-partai di AS tidak
cocok bila diterapkan di PD.
Menurutnya, konvensi PD nanti harus
bersistem the winner takes all. Yaitu semua peserta konvensi melakukan
sosialisasi terbuka lewat media massa yang punya jangkuan nasional.
Setelah itu, menjelang konvensi nasional nanti, dibuat survei pemilih
secara ilmiah di masing-masing provinsi. Siapa yang mendapat urutan
pertama maka dia mengambil seluruh kuota suara di provinsi itu. Hasilnya
kemudian dibawa oleh delegasi provinsi ke konvensi nasional. Delegasi
ini hanya membawa hasil survei. Misalnya, kalau di Aceh yang unggul
nomor 1 adalah Dahlan Iskan, delegasi Aceh mencalonkan Menteri BUMN itu.
Sementara kalau di Jawa Timur yang nomor 1 Mahfud MD, delegasi Jatim
mengusung mantan Ketua MK tersebut.
Untuk menjamin agar tetap
proporsional, Jeffrie menambahkan, kuota suara provinsi ditentukan oleh
jumlah pemilih provinsi bersangkutan dibanding pemilih nasional. Aceh
misalnya 2%, Jatim 16%. Kalau total suara di konvensi nanti 100, maka
Jatim mengirim 16 orang dengan suara ke Mahfud semua. Aceh 2 orang
dengan suara ke Dahlan semua. Demikian seterusnya. Nanti dihitung siapa
yang mendapat suara paling banyak dari semua provinsi itu.
Cara
seperti itu merupakan konvensi baru. Bukan seperti konvensi Golkar pada
tahun 2004 lalu yang rawan terhadap politik uang, dan bukan pula
konvensi seperti di Amerika yang bersandar pada primary (pemilihan
awal). [***}
Oleh Farhan Effendy, S. Fil. MAP
Sekretaris Pusat Pengembangan Strategi dan Kebijakan (PPSK) DPP Partai Demokrat